cinta tak harus
diungkapkan dengan untaian kata
Mendung masih bergelayut di langit Jogja
sore itu. Petir juga mulai sahut menyahut memekakkan telinga. Akhirnya hujan
mulai jatuh tak terbendung bak membalas dendam setalah tanah tak lama tersiram.
Sudah sejak dua jam lalu dia pergi setelah mendengar bahwa pacarnya terlihat
bersama dengan orang lain. Wajahnya terlihat begitu merah terbakar emosi saat
ia pergi. Aku menjadi khawatir terjadi sesuatu dengannya, apalagi saat emosinya
sedang tersulut seperti itu.
“Semoga tak terjadi apa-apa dengannya”
batinku menenangkan diri.
Namaku Ardi. Aku merantau ke Jogja dari
Palembang setelah diterima sebagai mahasiswa psikologi disalah satu PTN
terkemuka disini. Beruntung saat awal menginjakkan kakiku di kota budaya ini
aku bertemu dengannya, yang kebetulan kuliah dikampus yang sama denganku.
Hingga setahun kuliah aku juga masih tinggal di kost yang sama dengannya,
bahkan satu kamar. Dia sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri disini. Banyak
hal yang ia lakukan untuk membantukku saat aku masih belajar beradaptasi
disini. Bahkan ia juga rela untuk jarang pulang kampong saat sedang libur,
padahal ia tinggal di Solo. Saat kutanya kenapa, ia hanya menjawab tak tega
meninggalkanku sendiri di kost. Betapa beruntungnya aku mengenalnya.
“Bang, malem nanti sibuk gak?”
“Palingan makan bareng si Sania, kenapa
memang?”
“Niatnya mau minta tolong temenin ke
service laptop, laptopku kayaknya error. Tapi kalo udah ada acara, yaudah biar
aku sendiri aja”. Kulanjutkan bacaan bukuku.
“Halo, Sania.”. kupalingkan wajahku dari
buku yang sedang kubaca kearahnya. Ah, sedang menelfon pacarnya ternyata.
“Makam malem ntar, ditunda dulu besok
aja yah. Gue mau nolongin temen nih.”
“Iya. Yaudah yah. Bye Sania Sayang…”
Klik.
“Emang mau nolongin sapa bang, sampai
acara dating sama pacar dibatalin?”
“Nolongin adek tercinta gue service
laptop. Jam berapa entar?”
“Lhooo lhooo, aku maksudnya?”
“Emang gue punya adek lain?”
“Gak usah kali bang, aku gak enak sama
Abang. Aku bias sendiri koq.”
“Gue mau tidur. Kalo udah sore bangunin
yah”. Ucapnya sambil ngeloyor pergi. Tak ia hiraukan ucapanku selanjutnya.
Begitulah sosok Aryo, mahasiswa
arsitektur semester enam kalo udah punya niat, gak mungkin bias dicegah. Bahkan
pernah semester lalu saat dia magang di Semarang, ia selalu balik ke Jogja Cuma
buat nemuin aku. Saat kularang, dia Cuma bilang “gue gak pengen adek gue sakit
gara-gar kangen gue tinggal kelamaan”. Titik. Tak ada tambahan apapun. Saat
kularang saat ia datang lagi minggu berikutnya dia tak akan membahasnya, dia
akan dengan cepat ngomongin hal lain atau ngeloyor pergi.
Karena itulah aku sangat mengagumi
sosoknya. Mungkin lebih tepatnya mencintainya. Bahkan sejak pertama aku
mengenalnya setahun lalu. Tapi tak pernah sedikitpun niat untuk mengungkapkan
perasaan ini kepadanya. Kadang aku merasa GR sendiri dengan perlakuannya. “aa
dia juga mencintaiku yah?”. Namun pikiran semacam itu selalu kubunag jauh-jauh.
Selain karena dia sudah punya pacar cewek, yang berarti dia normal, aku tak
ingin merusak hubungan persahabatan ini.
Aku memang gak normal. Aku gay. Jadi
bias dibayangkan bagaimana beratnya menahan perasaan sekaligus gairah, jika
tiap hari selalu disuguhi keindahan penampilan dari orang yang kita sukai.
Melihatnya dengan santainya ganti baju, melapas baju, atau telanjang didepan
mata. Satu hal yang masih aku syukuri adalah karena ranjang yang dipakai di
kamar kosku adalah ranjang susun, sehingga aku tak harus menahan gairah tiap
malam karena harus tidur seranjang dan pasti bersentuhan dengan tubuhnya.
Apalagi melihat kebiasaannya yang kalau tidur selalu telanjang dada atau hanya
menggunakan celana pendek, -yang memang benar-benar pendek- saja.
Kadang memang penasaran ingin memegang
bagian tubuh kerennya, atau melihat isi celana dalamnya yang didominasi warna
putih dan hitam. Apalagi saat ia baru selesai futsal, sat ia masih bersimbah
keringat. Huh, bener-bener cobaan. Kadang aku hanya bisa melepaskan gairahku
dengan celana dalam miliknya saat ia tak ada. Benar-benar gila bukan?
Selain karena penampilan fisiknya yang
oke, yang lebih membuatku jatuh hati tentu karena sikap-sikapnya terhadapku
itu. Berada disampingnya dan bisa dekat dengannya sudah sangat cukup untukku.
Sore itu, merasa sangat khawatir
dengannya. Setelah mendapat telpon dari
seseorang, wajahnya berubah drastic. Ada rasa marah dan emosi yang luar biasa
diwajahnya. Aku tak tahu apa yang terjadi. Saat kutanya, tak satupun kata
keluar dari mulutnya. Setelah meangambil kunci sepeda motornya ia langsung
pergi seperti kesetanan, bahkan handphone-nya pun tak ia bawa. Ragu-ragu
kuambil hp-nya. Kuketikkan beberapa kombinasi angka untuk membuka kunci
hapenya. Memang aku pernah diberitahu olehnya, saat aku ingin meminjam hape-nya
beberapa waktu lalu. Setelah masuk, layar Samsung S3 itu menampilkan gambar
yang membuatku kaget. Digambar itu Sania, pacar Aryo, sedang berciuman mesra
dengan seorang lelaki yang tentu saja bukan Aryo. Dari sini aku tahu kalau
aroma perselingkuhan yang membuat Aryo begitu kalap dan marah. Dan karena itu
juga aku justru merasa lebih khawatir dengannya. Aku tahu ia sosok yang gagah,
namun pasti hatinya sangat hancur. Karena setahuku ia begitu mencintai Sania.
Ada perasaan marah juga terhadap Sania, bagaimana mungkin ia mengkhianatai Aryo
yang sudah begitu saying kepadanya. Saat itu tak ada yang bisa aku lakukan
selain berharap tak terjadi apa-apa dengan Aryo.
Tengah malam, terdengar suara sepeda
motor memasuki halaman kos. Suara hujan yang masih juga dderas sedikit
mengaburkan suara sepeda motornya. Segera kuberlari keluar. Dengan badan yang
limbung dan basah kuyup ia berjalan masuk kerumah. Setelah mentup pagar dan
mengunci pintu kukerjar ia yang sepertinya menuju kamar mandi. Disana ia
tergeletak tak berdaya. Kudekati dia, dari mulutnya tercium bau alcohol. Ia
yang aku khawatirkan, setahuku ia bahkan tak pernah menyentuk minuman keras.
Pasti kejadian perselingkuhan ini menjadi pukulan berat untuknya.
Kubuka jaket yang masih ia kenakan.
Kuhanduki kepala dan tubuhnya kemudian kubalutkan handuk ke tubuhnya dan
memapahnya kekamar. Kubaringkan ia diranjang bawah, ranjangku. Kubuka satu
persatu pakaian yang masih ia kenakan. Kaosnya, celana jeansnya dan sekarang
menyisakan celana dalam putih yang masih melekat ditubuhnya. Sejenak aku
terpaku. Ini pertama kalinya aku memegang badannya dan melihat ia hanya
bercelana dalam dalam jarak sedekat ini. Aku ragu apakah harus melepas celana
dalam itu atau tidak. Akhirnya kuberanikan memegang karet celana dalamnya dan
pelan-pelan kuturkan melalui kaki jenjangnya. Melihanynta telanjang bulat
membuatku berdesir. Apalagi melihat sesuatu di selangkangannya yang sebelumnya
hanya imajinasi saja. Tanpa kusadari tanganku sudah memegang penisnya. Kuelus
lembut. Kemudian aku tersentak dan menarik tanganku dari area pribadi Aryo itu.
Kukeringkan badannya dan segera kuselimuti ia dengan selimut yang cukup tebal.
Aku tak berniat untuk memakaikan baju terlebih dahulu, aku khawatir aku tak
bisa mengendalikan diri.
Setelah kupastikan demamnya turun,
kubereskan handuk kecil dan air yang tadi kugunakan untuk mengompresnya.
Kulirik jam sudah meunjuk pada angka tiga. Kembali kekamar aku duduk disamping
tubuh lemahnya. Nafasnya sudah mulai teratur dan wajahnya sudah tak semerah
tadi. Aku lega melihatnya. Setidaknya ia masih baik-baik saja. Sempat terpikir
kalau dia akan melakukan hal yang berbahaya atau mengalami kecelakaan karena
keadaannya yang tidak baik. Namun, selalu kutepis pikiran buruk itu. Kupandangi
wajahnya, wajah yang selalu ceria bila sedang bersama denganku. Tak pernah ia
terlihat marah kepadaku. Kubelai wajahnya, kukecup pipinya. Wajah tampan itu
terlihat makin tampan.
Paginya aku terbangun karena merasakan
hangat sinar mentari menerobos ventilasi kamar. Aryo sudah bangun rupanya.
Bahkan ada selimut yang menyelimuti tubuhku. Rupanya aku tertidur disaamping
tempat tidur. Aku tersenyum. Saat keluar kamar, kulihat ia sudah terlihat segar
sedang menonton televisi sendirian. Kudekati dia dan duduk disebelahnya. Tak
ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Padahal aku ingin bertanya apa
sebenarnya yang terjadi dengannya semalam. Lidahku terasa kelu.
“Makasih ya dek”. Ucapnya sambil
memandang kearahku.
Aku hanya tersenyum dan menganggukan
kepala. Syukurlah, sepertinya sekarang ia sudah baik-baik saja. Ia kembali
focus ke layar televisi. Namun tiba-tiba ia menggelitiki pinggangku dengan
semangatnya hingga membuatku terguncang-guncang.
“Bang udah bang, geliii tauuuuu”. Ia
melepaskan tangannya dari pinggangku. Ia masih tertawa dengan lepasnya. Aku
tersenyum melihatnya, sepertinya sekarang ia sudah lebih baik.
“Hmmmm,, jadi sekarang udah jadi jomblo
dong”. Ia menghentikan tawanya. Sejurus kemudian ia terdiam. Aduh sepertinya
aku salah ngomong neh.
“Maaf bang, aku gak bermaksud……..”
“Kata siapa? Katanya terdengar riang.
“Jadi Abang masih ….
“Bukan”. potongnya.
“Terus?”
“Kan masih ada kamu dek,” katanya sambil
mengacak rambutku. Kemudian berlalu menuju kamar. Aku hanya bengong
mendengarnya. Aku masih belum bisa mencerna perkataannya dalam otakku. Kemudian
aku tersenyum. Ah, buat apa mikirin maksudnya, setidaknya sekarang ia sudah
kembali menjadi Aryo yang sebenarnya. Dan sekarang aku masih bisa dekat
dengannya, biarkan saja perasaan ini diam dihatiku, aku tak ingin membebani
diriku dan dia dengan mengungkapkan perasaanku. Dengan begini semuanya akan
baik-baik saja.
“Abaaaaaaang”, teriakku mengejarnya ke
kamar.
Akhirnya
selesai,,,
Cerita
ini kutulis, karena beberapa hari ini dikepalaku selalu terbayang pada
seseorang yang karena senyumannya membuatku tak bisa tidur nyenyak,, hahahah
[lebay mode ON]. Terima kasih sudah membaca, dan semoga bisa konsisten buat
menuliskan perasaanku lewat cerpen-cerpen selanjutnya,,,
Oh
ya, aku juga sangat mengharap kiritik dan saran, maklum penulis pemula, jadi
masih amatiran,, hahahahaaa….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar