Selasa, 08 September 2015

Cinta dalam diam



cinta tak harus diungkapkan dengan untaian kata

Mendung masih bergelayut di langit Jogja sore itu. Petir juga mulai sahut menyahut memekakkan telinga. Akhirnya hujan mulai jatuh tak terbendung bak membalas dendam setalah tanah tak lama tersiram. Sudah sejak dua jam lalu dia pergi setelah mendengar bahwa pacarnya terlihat bersama dengan orang lain. Wajahnya terlihat begitu merah terbakar emosi saat ia pergi. Aku menjadi khawatir terjadi sesuatu dengannya, apalagi saat emosinya sedang tersulut seperti itu.
“Semoga tak terjadi apa-apa dengannya” batinku menenangkan diri.
Namaku Ardi. Aku merantau ke Jogja dari Palembang setelah diterima sebagai mahasiswa psikologi disalah satu PTN terkemuka disini. Beruntung saat awal menginjakkan kakiku di kota budaya ini aku bertemu dengannya, yang kebetulan kuliah dikampus yang sama denganku. Hingga setahun kuliah aku juga masih tinggal di kost yang sama dengannya, bahkan satu kamar. Dia sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri disini. Banyak hal yang ia lakukan untuk membantukku saat aku masih belajar beradaptasi disini. Bahkan ia juga rela untuk jarang pulang kampong saat sedang libur, padahal ia tinggal di Solo. Saat kutanya kenapa, ia hanya menjawab tak tega meninggalkanku sendiri di kost. Betapa beruntungnya aku mengenalnya.
“Bang, malem nanti sibuk gak?”
“Palingan makan bareng si Sania, kenapa memang?”
“Niatnya mau minta tolong temenin ke service laptop, laptopku kayaknya error. Tapi kalo udah ada acara, yaudah biar aku sendiri aja”. Kulanjutkan bacaan bukuku.
“Halo, Sania.”. kupalingkan wajahku dari buku yang sedang kubaca kearahnya. Ah, sedang menelfon pacarnya ternyata.
“Makam malem ntar, ditunda dulu besok aja yah. Gue mau nolongin temen nih.”
“Iya. Yaudah yah. Bye Sania Sayang…” Klik.
“Emang mau nolongin sapa bang, sampai acara dating sama pacar dibatalin?”
“Nolongin adek tercinta gue service laptop. Jam berapa entar?”
“Lhooo lhooo, aku maksudnya?”
“Emang gue punya adek lain?”
“Gak usah kali bang, aku gak enak sama Abang. Aku bias sendiri koq.”
“Gue mau tidur. Kalo udah sore bangunin yah”. Ucapnya sambil ngeloyor pergi. Tak ia hiraukan ucapanku selanjutnya.
Begitulah sosok Aryo, mahasiswa arsitektur semester enam kalo udah punya niat, gak mungkin bias dicegah. Bahkan pernah semester lalu saat dia magang di Semarang, ia selalu balik ke Jogja Cuma buat nemuin aku. Saat kularang, dia Cuma bilang “gue gak pengen adek gue sakit gara-gar kangen gue tinggal kelamaan”. Titik. Tak ada tambahan apapun. Saat kularang saat ia datang lagi minggu berikutnya dia tak akan membahasnya, dia akan dengan cepat ngomongin hal lain atau ngeloyor pergi.
Karena itulah aku sangat mengagumi sosoknya. Mungkin lebih tepatnya mencintainya. Bahkan sejak pertama aku mengenalnya setahun lalu. Tapi tak pernah sedikitpun niat untuk mengungkapkan perasaan ini kepadanya. Kadang aku merasa GR sendiri dengan perlakuannya. “aa dia juga mencintaiku yah?”. Namun pikiran semacam itu selalu kubunag jauh-jauh. Selain karena dia sudah punya pacar cewek, yang berarti dia normal, aku tak ingin merusak hubungan persahabatan ini.
Aku memang gak normal. Aku gay. Jadi bias dibayangkan bagaimana beratnya menahan perasaan sekaligus gairah, jika tiap hari selalu disuguhi keindahan penampilan dari orang yang kita sukai. Melihatnya dengan santainya ganti baju, melapas baju, atau telanjang didepan mata. Satu hal yang masih aku syukuri adalah karena ranjang yang dipakai di kamar kosku adalah ranjang susun, sehingga aku tak harus menahan gairah tiap malam karena harus tidur seranjang dan pasti bersentuhan dengan tubuhnya. Apalagi melihat kebiasaannya yang kalau tidur selalu telanjang dada atau hanya menggunakan celana pendek, -yang memang benar-benar pendek- saja.
Kadang memang penasaran ingin memegang bagian tubuh kerennya, atau melihat isi celana dalamnya yang didominasi warna putih dan hitam. Apalagi saat ia baru selesai futsal, sat ia masih bersimbah keringat. Huh, bener-bener cobaan. Kadang aku hanya bisa melepaskan gairahku dengan celana dalam miliknya saat ia tak ada. Benar-benar gila bukan?
Selain karena penampilan fisiknya yang oke, yang lebih membuatku jatuh hati tentu karena sikap-sikapnya terhadapku itu. Berada disampingnya dan bisa dekat dengannya sudah sangat cukup untukku.
Sore itu, merasa sangat khawatir dengannya.  Setelah mendapat telpon dari seseorang, wajahnya berubah drastic. Ada rasa marah dan emosi yang luar biasa diwajahnya. Aku tak tahu apa yang terjadi. Saat kutanya, tak satupun kata keluar dari mulutnya. Setelah meangambil kunci sepeda motornya ia langsung pergi seperti kesetanan, bahkan handphone-nya pun tak ia bawa. Ragu-ragu kuambil hp-nya. Kuketikkan beberapa kombinasi angka untuk membuka kunci hapenya. Memang aku pernah diberitahu olehnya, saat aku ingin meminjam hape-nya beberapa waktu lalu. Setelah masuk, layar Samsung S3 itu menampilkan gambar yang membuatku kaget. Digambar itu Sania, pacar Aryo, sedang berciuman mesra dengan seorang lelaki yang tentu saja bukan Aryo. Dari sini aku tahu kalau aroma perselingkuhan yang membuat Aryo begitu kalap dan marah. Dan karena itu juga aku justru merasa lebih khawatir dengannya. Aku tahu ia sosok yang gagah, namun pasti hatinya sangat hancur. Karena setahuku ia begitu mencintai Sania. Ada perasaan marah juga terhadap Sania, bagaimana mungkin ia mengkhianatai Aryo yang sudah begitu saying kepadanya. Saat itu tak ada yang bisa aku lakukan selain berharap tak terjadi apa-apa dengan Aryo.
Tengah malam, terdengar suara sepeda motor memasuki halaman kos. Suara hujan yang masih juga dderas sedikit mengaburkan suara sepeda motornya. Segera kuberlari keluar. Dengan badan yang limbung dan basah kuyup ia berjalan masuk kerumah. Setelah mentup pagar dan mengunci pintu kukerjar ia yang sepertinya menuju kamar mandi. Disana ia tergeletak tak berdaya. Kudekati dia, dari mulutnya tercium bau alcohol. Ia yang aku khawatirkan, setahuku ia bahkan tak pernah menyentuk minuman keras. Pasti kejadian perselingkuhan ini menjadi pukulan berat untuknya.
Kubuka jaket yang masih ia kenakan. Kuhanduki kepala dan tubuhnya kemudian kubalutkan handuk ke tubuhnya dan memapahnya kekamar. Kubaringkan ia diranjang bawah, ranjangku. Kubuka satu persatu pakaian yang masih ia kenakan. Kaosnya, celana jeansnya dan sekarang menyisakan celana dalam putih yang masih melekat ditubuhnya. Sejenak aku terpaku. Ini pertama kalinya aku memegang badannya dan melihat ia hanya bercelana dalam dalam jarak sedekat ini. Aku ragu apakah harus melepas celana dalam itu atau tidak. Akhirnya kuberanikan memegang karet celana dalamnya dan pelan-pelan kuturkan melalui kaki jenjangnya. Melihanynta telanjang bulat membuatku berdesir. Apalagi melihat sesuatu di selangkangannya yang sebelumnya hanya imajinasi saja. Tanpa kusadari tanganku sudah memegang penisnya. Kuelus lembut. Kemudian aku tersentak dan menarik tanganku dari area pribadi Aryo itu. Kukeringkan badannya dan segera kuselimuti ia dengan selimut yang cukup tebal. Aku tak berniat untuk memakaikan baju terlebih dahulu, aku khawatir aku tak bisa mengendalikan diri.
Setelah kupastikan demamnya turun, kubereskan handuk kecil dan air yang tadi kugunakan untuk mengompresnya. Kulirik jam sudah meunjuk pada angka tiga. Kembali kekamar aku duduk disamping tubuh lemahnya. Nafasnya sudah mulai teratur dan wajahnya sudah tak semerah tadi. Aku lega melihatnya. Setidaknya ia masih baik-baik saja. Sempat terpikir kalau dia akan melakukan hal yang berbahaya atau mengalami kecelakaan karena keadaannya yang tidak baik. Namun, selalu kutepis pikiran buruk itu. Kupandangi wajahnya, wajah yang selalu ceria bila sedang bersama denganku. Tak pernah ia terlihat marah kepadaku. Kubelai wajahnya, kukecup pipinya. Wajah tampan itu terlihat makin tampan.
Paginya aku terbangun karena merasakan hangat sinar mentari menerobos ventilasi kamar. Aryo sudah bangun rupanya. Bahkan ada selimut yang menyelimuti tubuhku. Rupanya aku tertidur disaamping tempat tidur. Aku tersenyum. Saat keluar kamar, kulihat ia sudah terlihat segar sedang menonton televisi sendirian. Kudekati dia dan duduk disebelahnya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Padahal aku ingin bertanya apa sebenarnya yang terjadi dengannya semalam. Lidahku terasa kelu.
“Makasih ya dek”. Ucapnya sambil memandang kearahku.
Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala. Syukurlah, sepertinya sekarang ia sudah baik-baik saja. Ia kembali focus ke layar televisi. Namun tiba-tiba ia menggelitiki pinggangku dengan semangatnya hingga membuatku terguncang-guncang.
“Bang udah bang, geliii tauuuuu”. Ia melepaskan tangannya dari pinggangku. Ia masih tertawa dengan lepasnya. Aku tersenyum melihatnya, sepertinya sekarang ia sudah lebih baik.
“Hmmmm,, jadi sekarang udah jadi jomblo dong”. Ia menghentikan tawanya. Sejurus kemudian ia terdiam. Aduh sepertinya aku salah ngomong neh.
“Maaf bang, aku gak bermaksud……..”
“Kata siapa? Katanya terdengar riang.
“Jadi Abang masih ….
“Bukan”. potongnya.
“Terus?”
“Kan masih ada kamu dek,” katanya sambil mengacak rambutku. Kemudian berlalu menuju kamar. Aku hanya bengong mendengarnya. Aku masih belum bisa mencerna perkataannya dalam otakku. Kemudian aku tersenyum. Ah, buat apa mikirin maksudnya, setidaknya sekarang ia sudah kembali menjadi Aryo yang sebenarnya. Dan sekarang aku masih bisa dekat dengannya, biarkan saja perasaan ini diam dihatiku, aku tak ingin membebani diriku dan dia dengan mengungkapkan perasaanku. Dengan begini semuanya akan baik-baik saja.
“Abaaaaaaang”, teriakku mengejarnya ke kamar.

Akhirnya selesai,,,
Cerita ini kutulis, karena beberapa hari ini dikepalaku selalu terbayang pada seseorang yang karena senyumannya membuatku tak bisa tidur nyenyak,, hahahah [lebay mode ON]. Terima kasih sudah membaca, dan semoga bisa konsisten buat menuliskan perasaanku lewat cerpen-cerpen selanjutnya,,,
Oh ya, aku juga sangat mengharap kiritik dan saran, maklum penulis pemula, jadi masih amatiran,, hahahahaaa….




Tidak ada komentar:

Posting Komentar